ArticlePDF Available AbstractInternational law in its development moves dynamically according to international community interactions. In the development of international law has spawned an international organization, namely the United Nations UN. International courts relating to the UN status. The UN has laid the framework of the kosnstitusionic on the underlying instrument of the Charter with the determination of all the members of the UN to avoid the recurrence of World War threats that have twice occurred and have caused A threat to all mankind. THE un-formed International Criminal Court is backed by many demands for justice for its extraordinary crimes the most serious crime. The International Criminal Court aims to end impunity for perpetrators of gross human rights violations and to give a share of the prevention of the most serious crimes against human rights under international law, as well as Ensure international justice and support the achievement of objectivesof the United Nations Charter principles. Based on the description the problem that will be discussed in this article is the role and authority of THE International Organization PBB in maintaining international peace and security in resolving the problems that Conducted by the International Criminal Court ICC.This Writing uses legal research methods is normative with the research of secondary data and described descriptively. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 251 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 S A S I Volume 26 Nomor 2, April - Juni 2020 h. 251 - 265 p-ISSN 1693-0061 e-ISSN 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kaitannya dengan Penegakan Hukum Oleh Mahkamah Pidana Internasional Prospek dan Tantangan Novy Septiana Damayanti Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia E-mail novy18002 Keywords Enforcement of law; UN; International Criminal Court. International law in its development moves dynamically according to international community interactions. In the development of international law has spawned an international organization, namely the United Nations UN. International courts relating to the UN status. The UN has laid the framework of the kosnstitusionic on the underlying instrument of the Charter with the determination of all the members of the UN to avoid the recurrence of World War threats that have twice occurred and have caused A threat to all mankind. THE un-formed International Criminal Court is backed by many demands for justice for its extraordinary crimes the most serious crime. The International Criminal Court aims to end impunity for perpetrators of gross human rights violations and to give a share of the prevention of the most serious crimes against human rights under international law, as well as Ensure international justice and support the achievement of objectivesof the United Nations Charter principles. Based on the description the problem that will be discussed in this article is the role and authority of THE International Organization PBB in maintaining international peace and security in resolving the problems that Conducted by the International Criminal Court ICC.This Writing uses legal research methods is normative with the research of secondary data and described descriptively. Kata Kunci Penegakkan Hukum; PBB; Mahkamah Pidana Internasional. Hukum internasional dalam perkembangannya bergerak secara dinamis sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum internasional telah melahirkan suatu organisasi internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Mahkamah internasional berkaitan dengan status PBB. PBB telah meletakkan kerangka kerja konstitusionalnya pada instrumen pokok yaitu Piagam dengan tekad semua anggota PBB untuk menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan ancaman bagi seluruh umat manusia. International Criminal Court yang dibentuk oleh PBB dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan akan keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejamnya the most serious crime. Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan memberikan andil bagi pencegahan terjadinya kejahatan paling 252 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 serius terhadap hak asasi manusia menurut hukum internasional, serta menjamin keadilan internasional dan mendukung pencapaian tujuan dari prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan uraian tersebut permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah peran dan kewenangan organisasi internasional PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional dalam menyelesaikan permasalahan yang dilakukan oleh mahkamah pidana internasional ICC. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan penelitian dari data sekunder dan dijelaskan secara deskriptif. A. PENDAHULUAN Organisasi internasional, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diberi manfaat timbal balik melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara organisasi internasional, menurut pengertian sederhana tersebut mencakup adanya tiga unsur, yaitu1 Keterlibatan negara dalam suatu pola kerjasama 2 Adanya pertemuan-pertemuan secara berkala 3 Adanya staf yang bekerja sebagai “pegawai sipil internasional” Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disingkat PBB merupakan sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. PBB merupakan salah satu organisasi internasional dengan anggota mencapai 193 negara hingga saat ini. Keberadaan PBB adalah sebagai suksesor atau pengganti organisasi universal sebelumnya yaitu liga dari terbentuknya organisasi ini adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa, mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, dan menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan seluruh bangsa dalam mencapai tujuan Criminal Court” ICC, termasuk hukum Internasional di sini merujuk pada suatu realitas ”lembaga hukum” yang bersifat permanen dan mandiri berbentuk pengadilan atau mahkamah pidana. Digagas dan dibentuk oleh PBB, dan oleh Statuta Roma 1998 tentang Pembentukan ICC diberikan kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, dan memidana individu tanpa memandang official capacity' yang dimiliki oleh individu tersebut di dalam negara untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional International Criminal Court/ICC telah dimulai 50 tahun yang lalu untuk mengadili pelanggaran HAM berat seperti "genocide". Hal ini nampak dari Resolusi Majelis Umum PBB No. Rudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama, h. 93 Widodo. 2017. Hukum Internasional Publik. Yogyakarta Aswaja Pressindo, h. 233 Sefriani, 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta Rajawali Pers, h. 200 Gunakaya, W. 2013. “Peranan Dan Prospek ”International Criminal Court” Sebagai International Criminal Policy Dalam Menanggulangi ”Internasional Crimes”. Jurnal Wawasan Hukum, 29 2, h. 2 253 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 260 tanggal 9 Desember 1948, yang mengadopsi "Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide".Dimana ditekankan betapa pentingnya kerjasama internasional untuk membebaskan manusia dari perbuatan-perbuatan kejam dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi kemanusiaan. Kerjasama internasional di sini berkaitan dengan usul tentang kemungkinan adanya "international penal tribunal" atau "international judicial organ" dan untuk itu ditugaskan kepada "the International Law Commission" lLC untuk mengkajinya. Kemudian telah terbentuklah apa yang telah dinamakan "the ad hoc International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia" untuk mengadili para pelanggar ham. Dalam sejarah kita telah menyaksikan adanya Pengadilan yang dibentuk setelah Perang Dunia II untuk pengadilan penjahat perang. Pengadilan tersebut adalah pengadilan Nuremberg dan pengadilan Tokyo. Pengadilan Neuremberg dibentuk adanya perjanjian antara sekutu tanggal 8 agustus 1945 dan Pengadilan Tokyo dibentuk tanggal 19 januari 1946. Setelah itu pada peristiwa di bekas negara Yugoslavia dibentuk International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia ICTY yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 827 tahun 1991. Kemudian pada tahun 1994 Dewan Keamanan dengan Resolusi telah membentuk International Tribunal for Rwanda ICTR. ICTY dan ICTR dibentuk sebagai pengadilan ad-hoc. Pengadilan ad-hoc ini mempunyai mandat yang terbatas waktu dan lama setelah itu ILC telah menyelesaikan Rancangan Statuta ICC dan pada tahun 1994 Rancangan ini disampaikan kepada Majelis Umum PBB. Majelis kemudian membentuk Komite ad hoc untuk pembentukan ICC yang mengadakan rapat dua kali pada tahun 1995. Selanjutnya Majelis Umum membentuk Komite Persiapan "consolidated draft text" dalam rangka konperensi diplomatik. Komite persiapan ini bertemu mulai tahun 1996-1998, Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana lnternasional pada sidang terakhir bulan Maret dan April 1998 teks Rancangan berhasil disempurnakan. Yurisdiksi kewenangan dari ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998, adalah sebagai berikuta Kejahatan genosida The crime of genocide b Kejahatan kemanusiaan Crimes against humanity c Kejahatan perang War crime d Kejahatan agresi The crime of aggression. Dalam pasal 126 Statuta Roma menyebutkan bahwa untuk dapat berlaku, perlu diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 60 negara. Pada 1 Juli 2002 ketentuan pasal itu terpenuhi kemudian pada Februari sampai Juni 2003 telah ditetapkan hakim, penuntut umum, dan ketua panitra. Mulai sejak itu ICC dapat melakukan kegiatan operasional sebagaimana mestinya. Dengan ini menegaskan bahwa ICC memiliki norma hukum positif yang sesungguhnya bukan hanya sekedar norma moral positive morality yang Muladi. 2001. “Yurisdiksi Dan "Adminissbility" Pengadilan Pidana Internasional”. Hukum dan Pembangunan, 4, h. 2 Suwardi, S. S. 2003. “Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court Dalam Kaitannya Dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB”. Hukum dan Pembangunan, 33 4, h. 2 Diantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Group, h. 66 254 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 diharapkan dapat mengikat negara-negara dalam melakukan tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan tujuan pembentukan pengadilan tetapi terdapat perbedaan dalam prakteknya, ICC masih terhambat dalam pelaksanaan kewenangannya oleh karena beberapa ketentuan, antara lain Pertama, masalah hak veto 5 negara Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Federasi Rusia, Cinahal ini didasarkan dalam Statuta Roma pada Pasal 16 dicantumkan ketentuan yang memungkinkan Dewan Keamanan turut campur dalam proses penyelidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat. Contoh penggunaan hak veto ini adalah dalam kasus presiden Sudan yang kemudian terhambat dalam penuntutan padahal diduga telah melakukan kejahatan berat. Amerika Serikat juga dengan hak vetonya menuntut agar pasukan Amerika yang bertugas dalam operasi pasukan penjaga perdamaian diberi kekebalan immunity dari yurisdiksi ICC dengan mengancam memutuskan keterlibatannya dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia pada 31 Juli 2002 jika hak vetonya tidak diindahkan. Setelah melalui perundingan akhirnya permintaan Amerika dikabulkan dan berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan dan penuntutan dari ICC selama 1 tahun 11 bulan atau sampai operasi penjaga perdamaian Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen Pasal 31 Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB Pasal 2 Statuta Roma.Perihal dengan penegakkan perdamaian dan keamanan internasional, PBB melalui Dewan Keamanan mempunyai kewenangan dalam hal melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan tindak pidana internasional. Berdasarkan Pasal 13 poin b Statuta Roma, Dewan Keamanan mempunyai referral jurisdiction untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana internasional. Dan juga terdapat deferral jurisdiction Pasal 16 Statuta Roma yang diberikan kewenangan untuk turut serta dalam penegakkan berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Dalam kaitannya dengan ICC, meskipun ICC adalah lembaga yang independen, tidak berada di bawah struktur PBB, namun preambul Statuta Roma 1998 mengakui keberadaan PBB. Preambul menegaskan bahwa pembentukan ICC tidaklah bertentangan dengan Piagam PBB. Peran PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional sangat diperlukan dan dewan keamanan dalam menyelesaikan penegakkan oleh mahkamah pidana internasional/ICC agar tidak terjadinya disefeksi maupun ambiguitas terhadap penyelesaian kasus tindak pidana internasional sesuai yang diuraikan dalam Pasal 5 Statuta Roma. Dalam penulisan terdapat dua rumusan masalah, yaitu 1 Bagaimana peran dan kewenangan organisasi internasional PBB dalam penegakkan hukum oleh mahkamah pidana internasional?; 2 Bagaimana prospek dan tantangan mahkamah pidana internasional ICC dalam menyelesaikan kasus the most serious crime?. Adapun dalam Atmasasmita, R. Op. Cit., h. 66 Katiandagho, K. 2016. “Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk Mengadili Pelaku Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara Tuan Rumah”. Jurnal Ilmiah, h. 5 Pasal 13 Poin b Piagam PBB 255 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan penelitian dari data sekunder dan dijelaskan secara deskriptif. B. PEMBAHASAN 1. Peran Dan Kewenangan Organisasi Internasional PBB Dalam Penegakkan Hukum Oleh Mahkamah Pidana Internasional Tidak bisa dipungkiri peran PBB sebagai organisasi internasional dengan anggota terbesar saat ini dalam hubungan internasional kontemporer sangatlah signifikan. PBB adalah organisasi universal dengan kompetisi umum. PBB dalam menjalankan fungsi pemeliharaan perdamaian keamanan melalui salah satu organ PBB, yaitu Dewan Keamanan Security Council. Peran Dewan Keamanan dalam Piagam PBB Bab VII tentang Action with Respect to threats, to the Peace, Breaches of the Peace, and Acts of Agression adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Dewan Keamanan ini pada masa awal dibentuknya PBB merupakan satu-satunya badan yang berwenang menegakkan keadilan dan menjaga kemananan internasional. Menurut Neha Jain bahwa pembentukan dan pemberian kewenangan Dewan Keamanan oleh Piagam PBB sebagai organ yang satu-satunya berwenang menegakkan keadilan dan menjaga keamanan internasional yang mempunyai sifat politis dalam mencapai Pidana Internasional dan Dewan Keamanan PBB, hubungan keduanya didasari oleh Preambul Statuta Roma baris ke-9 serta pada pasal 4 ayat 3Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations yang berlaku sah mengikat pada tanggal 4 Oktober 2004. Dari uraian pasal-pasal tersebut menunjukkan diakuinya hubungan antara Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional, hubungan tersebut bukan hanya mengakui keberadaan namun juga mengakui wewenang satu dengan upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima tindakan. Tindakan tersebut masing-masing saling berkaitan dan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari semua negara anggota PBB untuk dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan tersebut adalah Preventive Diplomacy, Peace Making, Peace Keeping, Peace Building, Peace Enforcement. dari paragraf statuta roma telah ditegaskan kembali perlunya suatu Sefriani, Peranan Hukum.. Op. Cit., h. 202 Jain, N. 2005. “A Separate Law For Peacekeepers The Clash Between The Security Council And The International Criminal Court”. The European Journal Of International Law, 16 2, h. 239 Preambule 9 Statuta Rome 1998 “Determined to these ends and for the sake of present and future generations, to establish an independent permanent International Criminal Court in relationship with the United Nations system, with jurisdiction over the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Article 4 3 Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations “Whenever the Security Council considers matters related to the activities of the Court, the President of the Court “the President” or the Prosecutor of the Court “the Prosecutor” may address the Council, at its invitation, in order to give assistance with regard to matters within the jurisdiction of the Court”. Kocar, Y. 2015. “The Relationship Between The International Criminal Court And The United Nations Security Council”. Law & Justice Review, 6 11, h. 172 Adolf, H. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung Sinar Grafika, h. 95-97 Preambule 7 Statuta Rome 1998 256 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai dan larangan menggunakan kekerasan yang mengancam integritas wilayah atau kemerdekaan suatu negara. Berdasarkan ketentuan tersebut ICC merupakan mahkamah yang permanen, independen dan mempunyai hubungan dengan sistem PBB. Mahkamah yang permanen dan independen didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertanggung jawaban individu individual accounntability, universal universality dan jujur fainess. Tujuan pertama dari pendirian ICC adalah memungkinkan adanya suatu mekanisme yang mempunyai yurisdiksi terhadap individu untuk bertanggung jawab terhadap tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Prinsip ini berhubungan dengan suatu negara yang tidak dapat melindungi warga negaranya termasuk pimpinannya dalam kaitan dengan kejahatan serius terhadap kemanusiaan yang merupakan yurisdiksi ICC. Prinsip pertama ini menimbulkan prinsip kedua yaitu universalitas. Prinsip kedua ini berarti bahwa yurisdiksi ICC harus diterapkan pada semua individu tanpa memandang tingkat jabatannya, kedudukannya dan kewargenegaraannya. Prinsip ketiga jujur faimess ini harus diterapkan persamaan keadilan bagi semua dan ini merupakan standar tertinggi dari proses keadilan."Ketika ICC dibicarakan bagaimana hubungannya dengan PBB timbul beberapa pemikiran1 ICC sebagai organ utama PBB; 2 Statuta sebagai perjanjian internasional; 3 ICC sebagai organ tambahan dari Majelis Umum PBB 4 ICC sebagai organ tambahan dari Dewan Keamanan 5 ICC sebagai badan Khusus Hubungan lainnya antara PBB dan Statuta Roma juga terlihat dari wewenang Dewan Keamanan PBB yang disebut juga dengan istilah hak referral hak menyerahkan yang diuraikan dalam Pasal 13 Statuta Roma. Berdasarkan Pasal 13 poin b statuta roma maka ICC dapat menjalankan kewenangannya terhadap tindak pidana serius Pasal 5 Statuta Roma jika terdapat situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan oleh pelaku dan perkaranya telah dilimpahkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan yang dapat bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Dari uraian Pasal 13 poin b maka jelaslah bahwa Dewan Kemananan PBB mempunyai kewenangan untuk mengiterprestasikan atau mengidentifikasikan apakah tindak pidana yang dilakukan berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma melanggar ketentuan dari BAB VII Piagam PBB. Dewan Kemanan PBB juga memiliki hak deferral hak menangguhkan seperti “Reaffirming the Purposes and Principles of the Charter of the United Nations, and in particular that all States shall refrain from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”. Suwardi, S. S. Op. Cit, h. 7 Article 13 Statuta Roma “The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to in article 5 in accordance with the provisions of this Statute if a A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by a State Party in accordance with article 14; b A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations; or c The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such a crime in accordance with article 15. “ 257 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 yang dijelaskan dalam Pasal 16 Statuta Roma. Dari pasal tersebut Statuta Roma/ICC dapat menentukan penyidikan, penyelidikan maupun penuntutan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan dalam jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya yang dibuat berdasarkan Bab VII Piagam PBB telah menangguhkan penyidikan dan penuntutan. Permintaan tersebut bisa diperbarui berdasarkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam situasi yang sama kerena terdapatnya sebuah fakta atau kesaksian yang baru. Dari uraian Pasal 16 Statuta Roma ini jelaslah bahwa Dewan Kemanan PBB mempunyai peran dan wewenang yang sangat besar, tentunya hal tersebut sangat memperngaruhi pelaksanaan dalam penegakkan tindak pidana internasioal oleh ICC. Keterkaiatan antara hak referral hak menyerahkan dan hak deferral hak menangguhkan diatas dalam pelaksanaannya juga perlu memperhatikan Pasal 17 Statuta Roma yang mengatur dapat diterimanya sebuah perkara. Walaupun Mahkamah Pidana Internasional sebagai lembaga Hukum Internasional yang tersendiri karena kedudukannya terlepas dari PBB. Meskipun Mahkamah Pidana Internasional terlepas dari PBB, Mahkamah Pidana Internasional kinerjanya dipengaruhi oleh hubungan yang berkembang dengan Dewan Keamanan PBB. Hubungan ini dijelaskan dalam Preambul Statuta Roma serta pada pasal 4 ayat 3 Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations. Selanjutnya hubungan tersebut dituangkan lebih lanjut pada pasal 13 dan pasal 16 Statuta Roma mengenai kewenangan Dewan Keamanan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Peristiwa demikian dicontohkan dengan resolusi Dewan Keamanan 1422 pada tahun 2002. Resolusi tersebut mengacu pada pasal 16 Statuta Roma. Amerika Serikat mengancam akan menarik pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia apabila tidak diberikan kekebalan hukum atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pasukan-pasukan tersebut. Resolusi 1422 akhirnya diadopsi mengikuti permintaan tersebut pada tahun 2002. Moss kemudian menyatakan dalilnya a Resolusi 1422 Dewan Keamanan Perserikatan sebenarnya menyimpang dari ketentuan pasal yang tercantum dalam Pasal 16 Statuta Roma. b Ketentuan pasal 16 Statuta Roma, bahwa Statuta Roma mengamanatkan penangguhan proses penyelidikan atau penuntutan perkara, bukan memberi kekebalan hukum, dengan demikian Amerika Serikat menyimpang dari Statuta Roma. c Bahwa dalam keanggotan permanen Dewan Keamanan, hanya Inggris dan Perancis menjadi anggota dari Statuta Roma. d Amerika Serikat bukan pihak dari Statuta Roma, namun dengan kekuatannya sebagai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama empat anggota Article 16 Statuta Roma “No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 months after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has requested the Court to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions.” Obura, K. 2015. The Security Council And The International Criminal Court When Can The Security Council Defer A Case?. Strathmore Law Journal, h. 122., baca juga Article 4 Statuta Roma, The Court shall have international legal personality. It shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes. The Court may exercise its functions and powers, as provided in this Statute, on the territory of any State Party and, by special agreement, on the territory of any other State. Anditya, A. W. 2017. Implikasi Hak Referral Dan Hak Deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Penegakan Hukum Pidana Internasional Oleh Mahkamah Pidana Internasional, Tesis, Universitas Gadjah Mada, h. 13 258 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 permanen lainnya, dapat mempengaruhi kepercayaan dunia terhadap Mahkamah Pidana Internasional. Dewan Keamanan adalah badan yang terlepas dari Statuta Roma diberikan hak untuk menyerahkan keadaan referral dan hak untuk menangguhkan proses penyelidikan atau penuntutan deferral oleh Statuta Roma, Dewan Keamanan harus menghormati independensi dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Hak-hak Dewan Keamanan tersebut hanya dapat diterapkan atas dasar keadaan yang benar-benar mengancam perdamaian serta keamanan dunia. Hal ini dapat ditinjau dari pasal 17, pasal 18, dan pasal 19 Statuta Roma, bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki hak untuk tetap objektif dan tunduk pada pasal 53 Statuta Roma dalam menerima atau menangguhkan proses penyelidikan atau veto dari Dewan Keamanan PBB yang membatasi yurisdiksi ICC dimana Hak veto dimiliki oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, dan Prancis. Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Penggunaan Hak veto ini didasarkan dalam Statuta Roma Pasal 16 Statuta Roma. Berdasarkan pasal ini, maka Dewan Keamanan dimungkinkan untuk turut campur dalam proses penyelidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat. Berikut ini beberapa contoh penggunaan Hak veto dalam yurisdiksi ICC yang menimbulkan kontroversi, antara lainPertama, dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang melibatkan presiden Sudan. Dalam pelaksanaan kewenangan ICC sehubungan dengan kasus ini, Amerika Serikat menggunakan Hak vetonya untuk mendapat penangguhan penuntutan presiden Sudan karena ketentuan Pasal 16 Statuta Roma. ICC pun menangguhkan penuntutan terhadap presiden Sudan. Kedua, penggunaan Hak veto oleh Amerika Serikat yang menuntut agar pasukan Amerika yang bertugas dalam operasi pasukan penjaga perdamaian diberi kekebalan immunity dari yurisdiksi ICC dengan mengancam memutuskan keterlibatannya dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia pada 31 Juli 2002 jika hak vetonya tidak diindahkan. Setelah melalui perundingan akhirnya permintaan Amerika dikabulkan dan berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan dan penuntutan dari ICC selama 1 tahun 11 bulan atau sampai operasi penjaga perdamaian selesai. Ketiga, penggunaan Hak veto oleh Amerika untuk Israel atas kasus kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel. Penggunaan Hak veto Amerika Serikat untuk membela Israel adalah sebanyak 39 veto, padahal Israel telah melakukan banyak pelanggaran terhadap beberapa resolusi PBB, antara lain resolusi 271, 298, 452, dan 673. Contoh penggunaan Hak veto diatas menunjukan bahwa anggota tetap Dewan Keamanan dalam menggunakan Hak vetonya mengacu pada national interest atau kepentingan negara itu sendiri. Penggunaan hak veto ini bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. PBB diharapkan dapat merevisi kembali penggunaan Hak veto oleh Dewan Keamanan. Hal ini dikarenakan bahwa Hak veto tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan negara. Christian Wolff mengemukakan bahwa antara satu negara dengan negara yang lainnya memiliki kedudukan yang sama satu sama lain. Walaupun negara-negara Dewan Keamanan anggota tetap seperti Adolf, H. 2015. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Bandung Keni Media, h. 259 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 Amerika Serikat dan lainnya memiliki hak untuk turut serta dalam kasus yang diadili oleh ICC akan tetapi hal tersebut dalam hukum internasional terjadi pertentangan norma seperti halnya dengan prinsip persamaan kedudukan negara. Masalah lain yang membayang-bayangi legitimasi ICC, selain penggunaan Hak veto ialah ketentuan dalam Pasal 98 Statuta Roma Merujuk pada ketentuan Pasal 98 Statuta Roma di atas, menunjukkan bahwa efektivitas ICC dalam menuntut dan mengadili pelaku kejahatan HAM berat masih terhambat oleh ketentuan tersebut di atas. Hal ini terbukti dari kenyataan praktik implementasi Statuta ICC, dimana Amerika Serikat telah dapat memanfaatkan celah hukum di atas yaitu dengan mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain untuk tidak menyerahkan kepada ICC. Perjanjian bilateral tersebut disebut United States Bilateral Agreement for Immunity. Perjanjian ini menyatakan bahwa tidak ada warga negara, baik pejabat maupun mantan pejabat, atau personil militer setiap pihak yang bisa diserahkan atau dipindahkan oleh negara lain ke ICC untuk tujuan Prospek dan Tantangan Mahkamah Pidana Internasional ICC Dalam Menyelesaikan Kasus The Most Serious Crime Statuta Roma adalah perjanjian yang diadopsi dalam Konferensi Roma 1998 untuk menjadi dasar terbentuknya International Criminal Court ICC. Perjanjian yang disusun dan disetujui pada hari yang sama yaitu 17 Juli 1998 tersebut hingga saat ini telah diratifikasi oleh 124 negara, sedangkan jumlah negara penandatangan mencapai 139 negara. Terkait ICC, Statuta Roma mengaturnya di bagian 1. Pasal 1 Statuta Roma mendefinisikan ICC sebagai “suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini, dan merupakan pelengkap terhadap jurisdiksi kejahatan nasional”. Yakni sehubungan dengan sifat Komplementer dari ICC terhadap pengadilan nasional dan bukan bersifat sub-ordinatif. Hal ini juga dapat diartikan bahwa sesungguhnya masyarakat internasional menaruh harapan besar akan lebih baiknya penegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan internasional dengan kehadiran ICC, Namun demikian ternyata tidak seperti yang diharapkan, kehadiran ICC pada akhirnya mendapat penolakan dari negara Amerika Serikat. Negara yang semula menjadi sponsor ini menjadi yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional”. Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu unable dan tidak bersedia unwilling untuk melakukan penyelidikan atau 48 Shaw, M. N. 2013. Hukum Internasional. Bandung Nusa Media, h. 402 Article 1 Statuta Roma “permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, as referred to in this Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions”. Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum 16 1, h. 3 Unable-tidak mampu Pasal 17 3 Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum Unwilling-tidak bersungguh-sungguh Pasal 17 2 Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai 260 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma. Berkaitan dengan yurisdiksi atau kewenangan mengadili, maka ICC dibatasi oleh beberapa hal Pertama, berdasarkan subjek hukum yang dapat diadili atau personal jurisdiction rationae personae, ICC hanya dapat mengadili individu natural person. Pelaku kejahatan dalam yurisiksi ICC harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu individual responsibility, termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik militer muapun sipil. Kedua, berdasarkan jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkupnya atau material jurisdiction rationae materiae. Maka yurisdiksi ICC adalah pada kejahatan-kejahatan yang merupakan kejahatan paling serius the most serious crime dalam pandangan masyarakat internasional yang diatur dalam Pasal 5-8 Statuta Roma 1998. Adapun pemicu berlakunya yurisdiksi ICC didasarkan pada tiga institusi sebagai triggered jurisdiciton, yakni Complaint by a State Party; Refferal by the Security Council dan Trigger by the Prosecutor. Berkenaan dengan Dewan Keamanan PBB, maka dapat dikemukakan bahwa kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 39 Piagam PBB yang menyatakan bahwa "Dewan Keamanan akan menentukan ada tidaknya satu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasol 41 dan 42. Untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional" . Berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB diatas Maupun pasal 13 Statuta Roma, maka terdapat hubungan yang sangat erat antara Dewan Keamanan PBB dengan ICC yang merupakan dua lembaga yang sama-sama bekerja sama dalam memelihara dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional namun dalam penyelesaiannya yang berbeda. Dewan Keamanan PBB berdasar pada Pasal 13b Statuta Roma 1998, di mana di dalam Statuta Roma 1998 yang hanya dapat dijalankan oleh Dewan Keamanan PBB, khususnya oleh anggota tetap. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penyerahan resolusi oleh Dewan Keamanan PBB yang berdasar Bab VII Piagam PBB dan berdasarkan resolusi tersebut dan menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat kepada ICC. Terdapat perbedaan mendasar antara pelaksaan yurisdiksi dari ICC oleh Dewan Keamanan PBB dengan negara peserta Statuta atau Jaksa Penuntut ICC yang membuat yurisdiksi ICC menjadi absurd, tidak praktis dan terbatas pada hal-hal tertentu, ini karena disebabkan oleh adanya pra kondisi berlakunya yuridiksi ICC sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12. Dimana yurisdiksi dari ICC berlaku terhadap negara peserta dan tempat terjadinya pelanggaran HAM harus merupakan keseluruhan dari negara peserta Statuta Roma. Apabila terdapat negara yang menjadi pihak Statuta Roma setelah Statuta berlaku, maka ICC hanya dapat melaksanakan yurisdsiksi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya ratifikasi atau aksesi oleh negara tersebut. kesungguhan dalam menjalankan pengadilan apabila 1 Pengadilan nasional dijalankan dalam rangk a melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut 2 Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat keadilan; 3 Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”. Jurnal Hukum, 16 1, h. 6 261 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 Prospek dari ICC seharusnya diletakkan pada adanya kemauan dan kerjasama negara-negara di dunia, mengingat penegakkan hukum pidana internasional terhadap pelaku pelanggaran most serious crimes yang lebih diutamakan dibandingkan kejahatan atau tindak pidana yang bisa diselesaikan melalui pengadilan nasional suatu negara. Kerjasama sama antara negara-negara sangat diperlukan oleh ICC dalam rangka penegakkan pelanggaran HAM ketika suatu negara tidak memiliki kemampuan dalam penegakkan kejahatan tersebut. Dari penjelasan ICC diatas, dimasa yang akan datang ICC akan mengalami berbagai macam hambatan dan tantangan dalam kaitannya terhadap negara, baik yang telah melalui ratifikasi aksesi dan negara yang tidak mau mengikatkan diri pada ICC seperti negara Amerika Serikat, China, Israel dsb. Disamping hal itu akan terjadi juga tantangan sehubungan dengan penerapan yuridiksi dari ICC yang melalui prinsip komplementer yang merupakan bentuk perluasan dari penegakkan pengadilan nasional. Tantangan lainnya berupa kewenangan dari Dewan Keamanan PBB yang ditimbulkan oleh implikasi pengaturan ICC secara politis maupun adanya kepentingan politik dari negara negara adidaya ataupun negara yang termasuk dalam anggota tetap yang tidak dinaungi oleh ICC yang pada akhirnya menghambat eksistensi dari ICC. Tantangan berikutnya yakni permasalahan kedaulatan negara dan non intervensi negara lain, yang dengan hal tersebut suatu negara tidak mudah menyerahkan warga negara untuk diadili oleh ICC. Prinsip dasar yang dianut dalam Statuta Roma adalah bersifat “komplemeter”. Artinya, terjadinya kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, maka pengadilan terhadap pelaku terlebih dulu diserahkan kepada hukum nasional negara di mana kejahatan dilakukan. Apabila negara yang bersangkutan tidak mau unwilling atau tidak dapat unable mengadili pelaku kejahatan tersebut, maka peran Mahkamah Pidana Internasional diperlukan terhadap pelaku pelaku kejahatan satu masalah yang telah sekian lama adalah konflik antara Israel dan Palestina adalah sebuah konflik antara Israel dan Palestina dalam memperebutkan otoritas tanah yang mana kedua belah pihak mengklaim mempunyai hak yang sama atas tanah tersebut. Dalam penelitian ini tanah yang diperebutkan itu disebut Tanah Suci. Perang 6 hari atau Perang Arab-Israel 1967 adalah perang yang berlangsung selama 6 hari ini merupakan konflik bersenjata antara Israel melawan negara-negara Arab yang diwakili oleh Mesir, Suriah dan Yordania. Pasca perang yang dimenangkan oleh Israel tersebut, wilayah Israel terus meluas, sementara wilayah negara-negara Arab mulai berkurang. Kejahatan Perang Israel terhadap Palestina yang menimbulkan kerugian dan banyaknya korban jiwa adapun pelanggaran tersebut diantara-Nya melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil, menyerang obyek sipil, fasilitas umum, penggunaan senjata terlarang, penyerangan udara secara tidak proporsional. Akibat dari serangan tersebut mengakibatkan lebih dari Empat puluh warga Palestina telah tewas dan terluka dalam pawai Gaza di sepanjang pagar perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel sejak 30 Maret 2018. Dari mereka yang berada di rumah sakit pemerintah, terkena peluru tajam, 107 dengan peluru bermata spons, 408 menderita inhalasi gas dan 582 menderita luka-luka lainnya; adalah orang dewasa dan 454 adalah anak di bawah yang dianggap melakukan unwilling dan unable pada prinsipnya hanya Hiariej, E. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta Erlangga, h. 72 Matamata Politik. 2018. Luka PBB Laporkan Jumlah Palestina Yang Terus Bertambah Di Pawai Gaza. Retrieved from 262 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 berlaku bagi negara peserta yang telah melakukan ratifikasi terhadap statuta roma akan tetapi makna bisa diperluas dengan dasar ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang paling serius the most serious crimes. Pada Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma dinyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan di wilayah teritorial negara pihak dari ICC atau individu yang berasal dari negara yang sudah menjadi pihak dari perang war crime yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina dalam praktiknya kejahatan yang dilakukan termasuk dalam wilayah negara yang menjadi pihak dalam Statuta Roma yakni negara Palestina maka hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 12 ICC ayat 2, walaupun Israel bukan menjadi pihak dari ICC maka ICC memiliki kewenangan untuk mengadili berdasarkan pasal tersebut walaupun Israel sendiri bukan merupakan non pihak Statuta Pasal 34 Vienna Convention on the Law of Treaties VCLT 1969 secara tegas diatur bahwa “A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent”. Pasal ini memperlihatkan hubungan antara negara non pihakdengan perjanjian internasional adalah dengan adanya consent. Prinsip ini dikenal dengan prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya memberikan hak dan kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian sendiri selalu beranggapan dan berlindung dari salah satu prinsip dari hukum internasional yakni prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang berarti bahwa Statuta Roma 1998/ICC tidak memiliki kewenangan untuk turut serta dalam mengadili kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Penulis berpendapat dengan keadaan suatu negara yang dianggap tidak mau unwilling atau tidak dapat unable seperti dalam kasus Palestina diatas maka dalam hal ini berlakulah prinsip komplemeter dari Statuta Roma 1998 yang merupakan perluasan dari pengadilan nasional yang berarti ICC memiliki kewenangan dalam mengadili kejahatan tersebut seperti halnya Kejahatan perang tersebut termasuk bagian yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan Pasal 5 Statuta Roma. Maka kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina telah menciderai hukum internasional dan telah termasuk dalam yurisdiksi dari mahkamah pidana internasional yakni Pertama, tindakan dan perlakuan tentara Israel terhadap Palestina merupakan kejahatan perang war crimes, yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan pokok perkara subject matter jurisdiction, sebagaimana termasuk dalam kategori pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998. Kedua, kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Israel terjadi terus menerus Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma menyatakan bahwa “Dalam hal pasal 13, ayat a atau c, Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya kalau satu atau lebih Negara berikut ini adalah pihak dari Statuta ini atau telah menerima jurisdiksi Mahkamah sesuai dengan ayat 3 a Negara yang berkuasa atas wilayah di mana perbuatan yang dipersoalkan itu terjadi atau, kalau kejahatan itu dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang, Negara di mana kapal atau pesawat terbang itu terdaftar; b Negara di mana orang yang dituduh melakukan kejahatan adalah warga negara” Hadju, Z. A. A. 2019. “Anotasi Spirit Unable Dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina”. Jambura Law Review, 1 2, h. 18 Parthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Maju, h. 263 263 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 sampai dengan saat ini, dimana tahun-tahun tersebut merupakan tahun setelah berlakunya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli 2002, yang artinya termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan waktu Temporal Jurisdiction. Ketiga, walaupun kejahatan perang dilakukan di wilayah teritorial Israel yang mana bukan merupakan negara yang ikut meratifikasi Statuta Roma 1998, apabila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kategori kejahatan yang termasuk dalam Pasal 5 Statuta, maka berdasarkan prinsip universal yang dikenal dalam Hukum Internasional semua negara termasuk di dalamnya pengadilan internasional memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tanpa memperhatikan nasionalitas para pelaku maupun tempat dilakukannya kejahatan tersebut. Dari penjelasan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional tetap mempunyai yurisdiksi teritorial territorial jurisdiction. Sifat permanen ICC untuk semua negara yang menghendaki agar ICC tidak terlalu diberi ruang yang luas bagi munculnya judge-made law, yang oleh beberapa negara bisa dipandang sebagai suatu bentuk ketidakpastian yang bertentangan dengan prinsip nulum crimen sine lege. Secara keseluruhan, Statuta Roma 1998 memuat daftar lima puluh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang war crimes. terdapat norma hukum kebiasaan internasional yang justru tidak dimasukkan ke dalam rumusan Statuta Roma 1998, misalnya norma yang melarang penggunaan senjata biologis dan ICC atas warga non state party adalah bahwa Pasal 27 Statuta Roma 1998 Pasal di atas tidak membedakan antara imunitas personal dengan immunity ratione materiae. Sebaliknya Pasal 27 Statuta Roma 1998 merekomendasikan bahwa pejabat negara akan bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukannya atas nama negara , pejabat negara di sini termasuk pejabat yang menikmati personal imunitas. Pasal 28 dimaksudkan untuk menghapuskan praktik impunitas. Secara umum impunitas dipahami sebagai tindakan yang mengabaikan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan atau dalam kepustakaan umum sering kali diartikan sebagai absence of negara dikatakan tidak mempunyai kemauan dalam menyelenggarakan peradilan atas pelaku kejahatan yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 apabila peradilan nasional dibentuk untuk melindungi pertanggung jawaban pelaku, ketidakmampuan negara dalam menyelenggarakan peradilan atas pelaku kejahatan yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 dapat dilihat apabila tidak mampu untuk membawa pelaku ke hadapan pengadilan, jika tidak mampu untuk mendapatkan bukti-bukti dan kesaksian berhubungan dengan kejahatan tersebut, dan jika tidak berfungsinya sistem hukum nasional baik sebagian atau seluruhnya. C. P E N U T U P Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini. Penulis menyimpulkan beberapa hasil dari penelitian bahwa peran PBB dalam ICC juga dilihat dari wewenang DK PBB yang terdapat istilah hak referral hak menyerahkan yang diuraikan dalam Pasal 13 Statuta Roma terhadap kejahatan dalam Pasal 5 Statuta Roma dan hak deferral Nulum Crimen Sine Lege merupakan Suatu perbuatan menjadi tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman hanya kalau sebelum perbuatan itu dilakukan dan sudah ada hukum yang menyatakan demikian Siswanto, A. 2015. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta Andi, Sefriani, Yurisdiksi ICC., Op. Cit., h. 15 264 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 hak menangguhkan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 16 Statuta Roma yang dapat menentukan penyelidikan maupun penuntutan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan dalam waktu 12 bulan berdasarkan BAB VII Piagam PBB. Peristiwa demikian telah dilakukan dalam resolusi DK 1422 tahun 2002 yang mengacu terhadap Pasal 16 Statuta Roma. Amerika Serikat mengancam akan menarik pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia apabila tidak diberikan kekebalan hukum atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pasukan-pasukan tersebut. DK PBB juga memiliki hak untuk campur tangan dalam proses penyelidikan dan penuntutan kasus yang diadili ICC. Prospek dari ICC diletakkan pada kemauan dan kerjasama negara-negara terhadap pelaku kejahatan paling serius, kerjasama antara negara-negara sangat diperlukan ICC dalam penegakkan pelanggaran HAM, Tantangan yang dihadapi berupa DKK PBB yang ditimbulkan secara politis dan adanya kepentingan politik dari negara anggota tetap DKK yang tidak dinaungi oleh ICC dan terkait dengan non intervensi terhadap negara lain, yang pada akhirnya menghambat eksistensi dari ICC. ICC memiliki empat macam yurisdiksi yakni, yurisdiksi personal, kriminal, temporal dan teritorial. Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 menentukan negara yang dianggap tidak mau unwilling. ketidaksediaan unable. Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di wilayah palestina dan didukung dengan yurisdiksi dari mahkamah tersebut maka ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel dengan menggunakan yurisdiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998. DAFTAR PUSTAKA Buku [1] Adolf, H. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung Sinar Grafika. [2] Adolf, H. 2015. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Bandung Keni Media. [3] Diantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Group. [4] Hiariej, E. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta Erlangga. [5] Muladi. 2001. “Yurisdiksi Dan "Adminissbility" Pengadilan Pidana Internasional”. Hukum dan Pembangunan. [6] Parthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Maju. [7] Rudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama. [8] Shaw, M. N. 2013. Hukum Internasional. Bandung Nusa Media. [9] Siswanto, A. 2015. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta Andi. [10] Sefriani, 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta Rajawali Pers. [11] Widodo. 2017. Hukum Internasional Publik. Yogyakarta Aswaja Pressindo. Jurnal [12] Gunakaya, W. 2013. “Peranan Dan Prospek ”International Criminal Court” Sebagai International Criminal Policy Dalam Menanggulangi ”Internasional Crimes”. Jurnal Wawasan Hukum, 29 2. 265 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 [13] Hadju, Z. A. A. 2019. “Anotasi Spirit Unable Dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina”. Jambura Law Review, 1 2. [14] Jain, N. 2005. “A Separate Law For Peacekeepers The Clash Between The Security Council And The International Criminal Court”. The European Journal Of International Law, 16 2. [15] Kocar, Y. 2015. “The Relationship Between The International Criminal Court And The United Nations Security Council”. Law & Justice Review, 6 11. [16] Katiandagho, K. 2016. “Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk Mengadili Pelaku Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara Tuan Rumah”. Jurnal Ilmiah. [17] Obura, K. 2015. “The Security Council And The International Criminal Court When Can The Security Council Defer A Case”. Strathmore Law Journal. [18] Suwardi, S. S. 2003. “Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court Dalam Kaitannya Dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB”. Hukum dan Pembangunan, 33 4. [19] Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum, 16 1. Skripsi, Tesis, Disertasi dan Lain-Lain [20] Anditya, A. W. 2017. Implikasi Hak Referral Dan Hak Deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Penegakan Hukum Pidana Internasional Oleh Mahkamah Pidana Internasional, Tesis, Universitas Gadjah Mada. Online/World Wide Web [21] Matamata Politik. 2018. Luka PBB Laporkan Jumlah Palestina Yang Terus Bertambah Di Pawai Gaza. Retrieved from ... ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998, secara efektif mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 2002, di samping memiliki yurisdiksi kriminal sebagaimana dikemukakan di atas, juga memiliki yurisdiksi personal untuk menyelidiki, mengadili dan memidana individu tanpa memandang official capacity yang dimiliki oleh pelakunya di dalam negara nasionalnya Damayanti, 2020. Tidak peduli, apakah ia seorang kepala negara, kepala pemerintahan, komandan militer atau sebagai atasan, seorang sipil atau tentara bayaran. ...Oktriani DianiFadjrin Wira PerdanaPurboyo PurboyoDriasko Budi SidarthaHadirnya sebuah peradilan pidana internasional dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengadili para penjahat kemanusiaan. Sebelum adanya pengadilan pidana internasional beberapa peradilan sudah pernah didirikan untuk mengadili penjahat perang terkhusus setelah perang dunia kedua terjadi. Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dibentuk untuk mengadili para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada perang dunia kedua saat itu. Pemimpin negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan berhak dimintakan pertanggungjawaban. Seorang individu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas dasar Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang membahas mengenai tanggung jawab pidana seorang individu. Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggungjawaban tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ICC berwenang mengadili kejahatan internasional yang dilakukan oleh Pemimpin Negara yang terjadi di Dafur Sudan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder, yaitu publikasi hukum dari semua dokumen tidak resmi. Teknik pengumpulan bahan hukum adalah dengan menggali kerangka normatif dan teknik penelitian dokumen menggunakan bahan hukum yang membahas ketentuan yurisdiksi International Criminal Court ICC. Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggung jawaban OburaThis paper discusses the deferral power of the Security Council under Article 16 of the Rome Statute. It analyses the drafting history, provision and practice of Article 16 with a view to identifying the requirements that a situation should meet before the article may be invoked by the Security Council. The purpose is to provide guidance on the legal terrain within which the Security Council is authorised to act under Article 16, especially in light of its inconsistent invocation of the deferral power. The paper argues firstly, that, being a creature of the law, the Security Council is governed and qualified by the law; and secondly, that Article 16 has unambiguously provided the parameters within which the Security Council should exercise its deferral Setianingsih SuwardiBadan Khusus PBB adalah organisasi internasional yang bergerak di bidang ekonomi. sosial. kebudayaan pendidikan. kesehatan maupun di bidang yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebt. Sehubungan dengan Pasal 2 maka hubungan antara ICC dan PBB sebagai dua organisasi internasional yang mengadakan perjanjian. Jika dihuhungkan dengan Pasal 16 Statuta ICC maka Dewan Keamanan dalam kaitan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB mempunyai posisi lebih tinggi dari ICC. karena Dewan Keamanan dapat meminta ICC menangguhkan penyidikan atau penuntutan. Permasalahannya Dewan Keamanan dalam menggunakan hak berdasarkan Pasal 16 Statuta ICC apakah tidak dipengaruhi oleh pertimbangan politik mengingat praktek dewan Keamanan selama ini sangat ditentukan oleh pertimbangan MuladiArtikel ini mengulas yurisdiksi dan administrasi Pengadilan Pidana InternasionalInternational Criminal Court. Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional tersebutdidasarkan atas Statuta Rorna tentang Pidana lnternasional 1998. Pembahasan yurisdiksiICC dikaitkan dengan pokok perkara, waktu, teritorial dan personal. Pembahasanadministrasi ICC, misalnya, dikaitkan dengan apakah suatu kasus dapat diterirna atau Abdul Azis HadjuTujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Apa yang menjadi pertimbangan utama suatu entitas diakui sebagai negara oleh hukum internasional dan Bagaimana relasi antara spirit International Criminal Court ICC dengan prinsip unable and willing terhadap Palestina menurut hukum internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 1 Konvensi montevidio menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara baru untuk menjadi sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya populasi yang tetap, wilayah, pemerintah, dan kapasitas negara sebagai penunjang dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Terdapat pula pengakuan terhadap suatu negara yang terbagi dalam dua bentuk yakni pengakuan secara de jure maupun secara de facto, Palestina telah diakui secara de jure karna dalam praktiknya yang dibuktikan dengan melakukan perjanjian internasional dengan beberapa negara. Bahwa, ICC memiliki empat macam yuridiksi yakni, yuridiksi personal, kriminal, temporal dan territorial. Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 menentukan negara yang dianggap tidak mau unwilling. ketidaksediaan unable. Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di wilayah palestina dan didukung dengan yurisdiksi dari mahkamah tersebut, maka ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel dengan menggunakan yuridiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998. Kriteria unwilling dan unable dapat diperluas penegakkan melalui Pasal 13 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ICC memiliki tiga kewenangan untuk memeriksa kejahatan internasional, jika terdapat suatu kenyakinan bahwa salah satu dan atau seluruh pihak melakukan kejahatan internasional sesuai dengan Pasal 5 Statuta Roma JainSecurity Council Resolutions 1422 2002, 1487 2003 and 14972003, excluding the jurisdiction of the ICC, give rise to the fundamental issue of whether the legitimacy of an international institution such as the International Criminal Court may be eroded by an act of the Security Council, the political organ of the United Nations. This article analyses the legal validity of such resolutions within the framework of limitations that have been imposed upon the Council in international law. It discusses the relationship between the resolutions and the provisions of the Rome Statute, and concludes that their cumulative effect operates to modify the Rome Statute. It then deals with the effect of the illegality of these resolutions on the obligations of Member States of the UN, as well as on the Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana InternasionalI M P DianthaDiantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Perjanjian InternasionalI W ParthianaParthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Internasional 2. Bandung Refika AditamaT M RudyRudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama.
Opini-AN EXPLAINER MULTI-CHANNEL NETWORK COMPANY. Kebebasan Berekspresi. adalah Hak Asasi. Tetaplah bersuara tetaplah beropini walaupun langit runtuh dan bumi bergemuruh, demi menyuarakan kepedulian kita dengan lingkungan sekitar. Nantikan selalu konten menarik, kreatif dan modern dari Opini di lini channel lainya. Opinidotid. >. @opiniid.
/Artikel /Tentang “Pengadilan HAM” Internasional 23/09/2014 Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini. Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian crimes against peace, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility. Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional International Law Commission melalui Resolusi Majelis Umum PBB Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi pasal 16 –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility, kejahatan genosida pasal 17, kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 18, kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya pasal 19, serta kejahatan perang pasal 20. Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia ICTY. Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana. Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah genosida pasal 2; kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 3; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 pasal 4. Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional. Ketika Statute for an International Criminal Court Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara equal gravity pasal 7 ayat 8 ayat 8 ayat Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Related Articles CSR & HAM CSR Risk Check Relasi Bisnis dan HAM Peran NHRIs dalam Menjamin Penghormatan HAM Partai Politik Alternatif dan Pemilu Konsolidasi Gerakan Sosial, Saatnya Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif Menakar Kemungkinan Membangun Partai Politik AlternatifPengadilanHAM berkedudukan di kota atau kabupaten yang mana daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Adapun lingkup kewenangan Pengadilan HAM dalam peraturan tersebut adalah: Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 4),
Apakah negara yang tidak meratifikasi sebuah perjanjian internasional bidang HAM boleh melakukan pelaporan ke Pelaporan Khusus HAM di PBB? Intisari Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Yakni mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Yakni prosedur penegakan HAM yang dibentuk berdasarkan Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ECOSOC. Berdasarkan 2 dua mekanisme tersebut, jika suatu negara tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Bagaimana mekanismenya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang dan Piagam PBB Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia “HAM” merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “UU HAM” mengatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar dan fundamental bagi kehidupan manusia, serta menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, Pemerintah, bahkan Negara untuk menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM. Perserikatan Bangsa-Bangsa “PBB” memegang peran yang sangat penting dalam rangka memajukan dan melindungi HAM. Perlindungan HAM bahkan menjadi salah satu tujuan PBB sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa “Piagam PBB” sebagai berikut Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan permasalahan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan dan dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua tanpa pembedaan mengenai ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Mekanisme Pelaporan HAM Internasional Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme sebagai berikut a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Treaty Based Mechanism adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Perjanjian internasional ini hanya berlaku dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terkait. Contohnya, pengajuan laporan kepada Human Rights Comittee “HRC” yang pembentukannya didasarkan pada International Convenant on Civil and Political Rights “ICCPR” 1976 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Charter Based Mechanism adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan Piagam PBB sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB antara lain tentang tujuan PBB memajukan pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM seantero jagad serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial “ECOSOC” yang antara lain adalah “.... Mendorong penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.” Mekanisme pelaporan ini dapat dilakukan seluruh negara anggota, orang, kelompok masyarakat atau organisasi non-pemerintahan apabila mempunyai pengetahuan langsung atau tidak langsung mengenai dugaan pelanggaran, meskipun tidak mendatangani dan meratifikasi perjanjian HAM internasional. Berdasarkan 2 dua mekanisme di atas, jika negara yang Anda maksud tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Pada pembahasan ini kami akan menjelaskan mengenai mekanisme pelaporan HAM berdasarkan Piagam PBB. Mekanisme pelaporan berdasarkan Piagam PBB dilakukan melalui Dewan Hak Asasi Manusia dahulu Komisi Hak Asasi Manusia dan subdivisi-subdivisi di bawah Dewan, serta dua mekanisme yang dibentuk menurut Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 sebagai berikut Mekanisme Pelaporan HAM Berdasarkan Piagam PBB a. Dewan HAM PBB Dewan HAM adalah badan PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegiatan perlindungan HAM PBB. Mekanisme pelaporan sekaligus kepada Dewan HAM PBB dapat dilakukan melalui Prosedur Khusus, Kelompok Kerja, dan Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM. - Prosedur Khusus Tugas kerja dari prosedur khusus adalah sebagai mekanisme pencarian fakta dan investigasi, mengadakan kunjungan ke negara yang tertentu, dan menjalankan misi pencarian fakta dengan menerima laporan langsung dari masyarakat umum. Laporan investigasi disampaikan kepada Dewan HAM yang kemudian akan digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi. - Kelompok Kerja Kelompok kerja terbuka untuk partisipasi semua negara dan organisasi non pemerintah. Kegiatan kelompok kerja bercirikan perdebatan, diskusi, serta pembuatan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM, yang hasilnya akan disampaikan kepada Dewan HAM. - Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM Subkomisi tersebut mempunyai mandat untuk melakukan penelitian, membuat rekomendasi, berpartisipasi dalam pembuatan konvensi dan mekanisme-mekanisme HAM, menerima laporan, dan memeriksa dugaan pelanggaran HAM. b. Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 ECOSOC memberikan kewenangan dalam bidang HAM kepada Dewan HAM PBB dengan mengadopsi dua prosedur yaitu melalui Resolusi 1235 XLII tertanggal 6 Juni 1967 dan Resolusi 1503 XLVIII tertanggal 27 Mei 1970. Melalui Prosedur 1235, Dewan HAM diberikan kuasa untuk melakukan pemeriksaan keterangan yang relevan terkait pelanggaran HAM yang diterima dari perseorangan, organisasi non pemerintah, dan negara sebagaimana dimuat dalam surat pengaduan yang didaftar oleh Sekretaris Jendral, kemudian melakukan studi terhadap pola pelanggaran HAM tersebut. Pada dasarnya Prosedur 1235 bukanlah prosedur pengaduan individual. Dalam hal pelaporan diajukan oleh individual, maka Dewan HAM akan mengarahkan informasi pelanggaran HAM pada survei umum negara yang bersangkutan. Sementara, Prosedur 1503 disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Dewan HAM diberi kewenangan untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual. Komunikasi dari korban, dan organisasi non pemerintah yang telah melewati pengujian dan diterima oleh Sekretaris Jenderal. Philip Alston, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar hal. 345 menyebut Prosedur 1503 sebagai “petition-information” bukan “petition-redress”, dikarenakan ketiadaan ganti rugi kepada pihak korban. Dengan kata lain, prosedur ini hanya bersifat informatif kepada masyarakat internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tertentu. Oleh karenanya, sanksi yang paling dimungkinkan adalah sebatas timbulnya rasa malu “shaming” bagi negara pelanggar, sebab pelanggaran akan dibahas dalam diskusi yang berifat terbuka. Berdasarkan penjelasan di atas, maka negara yang tidak meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional dalam bidang HAM tetap dapat melakukan pelaporan khusus HAM di PBB melalui mekanisme Piagam PBB The Charter Based Mechanism yaitu melalui Dewan HAM PBB, Prosedur 1235 maupun Prosedur 1503. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; 2. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 3. Resolusi 1235 XLII Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid; 4. Resolusi 1503 XLVIII Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Referensi 1. ELSAM, Instrumen Hak Asasi Manusia dan Konsep Tanggung Jawab Negara, diakses pada 30 Juni 2017 pukul WIB; 2. Pranoto Iskandar, 2012, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar, IMR Press Cianjur. m7t7w. 81 45 335 349 306 196 16 365 7